KKN di Desa Penari Versi Widya Part 8, Cerita Viral yang Saat ini Tayang di Bioskop
BambuBeracun, Cerita KKN di Desa Penari versi Widya part 8
ini merupakan lanjutan dari cerita KKN di Desa Penari versi Widya part 7.
Cerita viral yang saat ini tayang di Bioskop merupakan cerita yang ditulis oleh
akun Twitter SimpleMan, @SimpleM81378523 pada 20 juni 2019 silam.
Nah berikut cerita lengkap KKN di Desa Penari Versi Widya part 8 yang dikutip dari postingan SimpleMan:
KKN di Desa Penari Versi
Widya Part 8
Tidak beberapa lama, Wahyu
sudah datang, ia masuk ke rumah tanpa membuang-buang waktu, alih-alih ia
istirahat, Wahyu dengan suara menggebu-gebu bercerita kalau baru saja mengalami
kejadian tidak mengenakan atas insiden motor, sampai dibantu, orang kampung.
Tidak lupa, ia bercerita
tentang penari yang ia temui, kecantikannya, ia ceritakan semua.
Bukan sambutan yang Wahyu
dapat, tapi tatapan kebingunganlah yang pertama Wahyu lihat.
"Ra onok deso maneh
nang kene (tidak ada desa lagi di sini)," kata Bima. Wahyu yang mendengar
itu tidak terima.
"Eroh tekan ndi
awakmu (tahu darimana kamu)?"
"Aku wes sering nang
kota (aku sudah sering ke kota)."
"Prokerku onok
hubungane ambek program hasil alam, dadi sering melu nang kota mabek wong kene
(Prokerku berhubungan sama program hasil alam, jadi sering ikut ke kota sama
orang sini)
"Sampe sak iki, aku
rong eroh onok deso maneh nang kene (sampai sekarang, aku belum nemuin satu
lagi kampung di dekat sini)."
"Ngomong opo, mbujuk
(bicara apa, nipu)," kata Wahyu geram.
"Mas," kata Nur,
"pancen ra onok deso maneh nang kene, kan wes tau dibahas (Mas, memang gak
ada lagi desa di sini, kan sudah pernah dibahas dulu)."
"Koen kabeh nek ra
percoyo, tak dudui bukti, nek aku ketemu wong deso liane (kalian kalau gak
percaya tak kasih bukti kalau ada desa lain di sekitar sini)."
Widya yang sedari tadi
diam, tiba-tiba ditarik oleh Wahyu.
"Takono ambek Widya
nek ra percoyo (tanya sama Widya kalau tidak percaya)."
Widya masih diam lama.
Sementara yang lain menunggu Widya berbicara, hal yang membuat Widya bingung
adalah, kopi.
Sadar atau tidak, Widya
sempat merasakan aroma kopi yang manis itu di jajanan yang ia cicipi, rasanya
sama persis.
Karena tidak sabar, Wahyu
membuka paksa tas Widya dan mengambil bingkisan itu, bukan koran lagi yang
Wahyu temuin, namun, daun pisang yang terbungkus di jajanan pemberian bapak tua
itu. Tepat ketika Wahyu membuka bingkisan itu.
Semua orang melihat isi di
dalam bingkisan itu, berlendir, dan aromanya sangat amis, tidak salah lagi, di
dalam bingkisan itu adalah kepala monyet yang masih segar dengan darah di daun
pisangnya.
Setelah kejadian malam
itu, Wahyu mengurung diri dalam kamar 3 hari lamanya. Kadang, ia masih tidak
percaya dengan hal itu. Namun, bila mengingat bagaimana kepala-kepala monyet
itu jatuh dari tangannya, rasa mualnya akan kembali membuat Wahyu harus
memuntahkan isi perutnya.
Widya hanya mengulang
kalimat mbah Buyut, jangan menolak pemberian tuan rumah.
Sejatinya, Wahyu dan Widya
sudah benar, meski ia tahu semua itu ganjil, namun mereka harus tetap
mencicipinya, yang jadi masalahnya, hanya Widya yang sadar, bahwa yang menemani
mereka bukanlah manusia.
Seandainya saja, Widya
mengatakan keganjilan itu kepada Wahyu, menolak pertolongan mereka, menolak
pemberian mereka.
Mungkin jalan cerita semua
ini akan benar-benar berbeda, bisa saja. Justru, penolakan seperti itu akan
mendatangkan bala (bencana) bagi mereka.
Apapun itu, Widya sudah
mengerti satu hal, ada hubungan yang secara tidak langsung tentang dirinya dan
sang penari.
Malam itu, Widya baru
selesai melihat prokernya yang dibantu beberapa warga desa. Ketika langit sudah
gelap gulita, Widya menyusuri jalan setapak desa.
Seperti biasa, suara
binatang malam mulai terdengar, ia terus berjalan sampai melihat rumah tempat
mereka menginap.
Seharusnya yang lain sudah
ada di rumah, entah mencicil laporan proker atau mungkin sejenak beristirahat.
Namun anehnya, lampu petromax yang seharusnya menyala di depan rumah, mati,
membuat rumah itu terlihat lebih sunyi, kelam, dan mengerikan. Seolah rumah itu
memanggil namanya.
Wes biasa, batin Widya,
memantapkan hatinya. Rumah ini memang masih terbilang baru bagi Widya dan yang
lainnya. Namun, tempo hari, mendengar bahwa ada penunggu di belakang rumah,
membuat Widya kadang tidak tenang, dan beberapa kejadian ganjil hampir pernah
Widya alami.
Hanya saja apa yang Widya
alami, apakah juga mereka alami, hanya saja mereka menutupi dan lebih memilih
diam.
Kini, Widya sudah ada di
depan pintu, mengetuknya, mengucap salam, dan kemudian melangkah masuk.
Dilihatnya ruang tengah, tempat biasa Ayu ada di sana, menulis laporan.
Sayangnya tidak ada Ayu di
sana. hanya ruangan kosong. Di teras rumah pun sama, seharusnya Wahyu dan Anto
ada di sana, sedang bercanda seputar apa yang mereka lakukan hari ini di temani
asap rokok dari mulut mereka, atau suara Nur yang sedang mengaji dan Bima yang
entah apa yang ia lakukan.
Selama tinggal di rumah
ini, hanya Bima, yang masih terasa asing bagi Widya. Sayangnya, malam itu, tak
ditemui satupun penghuni rumah ini. Apakah Widya terlalu sore untuk pulang,
sedangkan yang lain masih sibuk mengurus proker mereka masing-masing bersama
warga.
Entahlah. Widya bersiap
masuk ke kamar. Saat, sekelebat perasaan tak nyaman itu muncul.
Perasaan seolah ada yang
mengawasi entah darimana, dan menimbulkan rasa berdebar di dada. Ketika, suara
tawa ringkik terdengar dari pawon (dapur) rumah, saat itulah, Widya yakin,
sesuatu ada di sana.
Sesuatu yang bukan lagi
hal baru, ia harus memeriksanya. Ketika Widya menyibak tirai, ia melihat Nur,
duduk di sebuah kursi kayu, matanya menatap lurus tempat Widya berdiri.
Ia masih mengenakan mukena
putihnya seolah-olah, ia baru menunaikan sholat dan belum menanggalkan
mukenanya, hanya saja, kenapa ia duduk diam seperti itu.
"Nur, ngapain?"
kata Widya.
Nur masih diam, matanya
seperti mata orang yang kosong.
Saat itulah, Widya melihat
Nur menundukkan kepalanya dengan posisi duduk itu, seakan-akan ia tertidur di
atas kursi kayunya. Membuat Widya panik, mendekatinya.
Widya menggoyang badannya,
namun Nur tidak bergeming, saat Widya mencoba menyentuh kulit wajahnya yang
dingin, Nur terbangun dan melotot melihat Widya. Tatapannya, seperti orang yang
sangat marah.
"Cah Ayu (anak
cantik)."
Hal itulah yang pertama
Widya dengar dari Nur. Hanya saja, suaranya, itu bukan suara Nur. Suaranya
menyerupai wanita uzur. Melengking, membuat bulu kuduk Widya seketika berdiri.
Namun, saat Widya mencoba pergi, tangannya
sudah dicengkeram sangat kuat.
"Kerasan nak nang kene (betah tinggal di
sini)?"
Widya tidak menjawab
sepatah katapun, suaranya mengingatkannya pada neneknya sendiri, benar-benar
melengking.
"Yo opo cah ayu, wes ngertos
badarawuhi (gimana anak cantik, sudah kenal sama penunggu di sini)?"
Widya mulai menangis.
"Lo, lo, lo, cah ayu
ra oleh nangis, gak apik (anak cantik gak boleh menangis)."
Matanya masih melotot,
pergelangan tangan Widya dicengkram dengan kuku jari Nur.
"Cah lanang sing
ngganteng iku ae wes kenal loh kale Badarawuhi (anak ganteng itu saja sudah
kenal sama dia)."
"Nur," ucap
Widya sembari tidak bisa menahan takutnya lagi, suasana di ruangan itu
benar-benar baru kali ini bisa membuat Widya setakut ini.
"Iling Nur, iling
(sadar Nur, sadar)!"
Nur tertawa semakin
kencang, tertawanya benar-benar menyerupai tertawa yang membuat Widya diam dan
takut.
"Awakmu gak ngerti,
sopo aku (kamu gak ngerti siapa aku)?"
"Mbok pikir, nek gak
onok aku, cah ndablek model koncomu sing gowo bolo alus nang kene isok nyilokoi
putu'ku, aku, sing jogo Nur sampe sak iki, ra tak umbar, bolo alus nyedeki
putuku, ngerti (kamu pikir, kalau tidak ada aku, anak nakal seperti temanmu
yang sudah membawa penunggu di sini bisa mencelakai cucuku, aku yang selama ini
sudah menjaganya, tidak akan kubiarkan mereka mendekati cucuku, mengerti)
"Nyilokoi nopo to
mbah (mencelakai bagaimana)?"
"Cah ayu, kancamu
siji bakal ra isok balik. Nek awakmu rong sadar, opo sing bakal kedaden, tak
ilingno, cah ganteng iku, bakal gowo ciloko, nyeret kabeh nang petoko nang deso
iki. (anak cantik, satu dari temanmu tidak akan bisa kembali, jika kamu belum
sadar, semuanya akan terjadi, ingatkan anak itu, yang sedang membawa petaka
jika dibiarkan semuanya akan kena batunya di desa ini)
Setelah mengatakan itu,
Nur teriak keras sekali, lalu jatuh terjerembap.
Penutup
Demikian tadi cerita lengkap KKN di Desa Penari Versi Widya part 8 yang bisa anda baca. Untuk cerita selanjutnya tentang
KKN di Desa Penari Versi Widya bisa anda baca disini >>> KKN di Desa Penari Versi Widya part 9.
Post a Comment for "KKN di Desa Penari Versi Widya Part 8, Cerita Viral yang Saat ini Tayang di Bioskop"