KKN di Desa Penari Versi Widya Part 7, Cerita Viral yang Saat ini Tayang di Bioskop
BambuBeracun, Cerita KKN di Desa Penari versi Widya part 7
ini merupakan lanjutan dari cerita KKN di Desa Penari versi Widya part 6.
Cerita viral yang saat ini tayang di Bioskop merupakan cerita yang ditulis oleh
akun Twitter SimpleMan, @SimpleM81378523 pada 20 juni 2019 silam.
Nah berikut cerita lengkap KKN di Desa Penari Versi Widya part 7 yang dikutip dari postingan SimpleMan:
KKN di Desa Penari Versi
Widya Part 7
Tepat ketika langit sudah
kemerahan, mereka melanjutkan perjalanan. Di belakang, Widya mulai merasakan
angin dingin, melewatinya begitu saja.
Tidak pernah disangka,
jalan masuk hutan, lebih gelap ketika petang sudah mulai menjelang.
Cahaya motor yang
dikendarai Wahyu menembus kegelapan malam, kilasan pohon hutan di samping kiri
kanan jalan menjadi pemandangan tak terelakkan. Hanya suara motor yang mampu
menghidupkan sepi senyap di sepanjang jalan, karena benar saja, tak ditemui
satupun pengendara lain di sini.
Wahyu mencoba mencairkan
suasana dengan berandai-andai bagaimana bila motor mogok atau ban meletus di
tengah antara hutan ini sementara belum ditemui satupun pengendara yang lewat.
Widya hanya menanggapi
kecut, takut bila pengandaian Wahyu terjadi pada mereka, dan benar saja, motor
mereka ngadat tepat setelah Wahyu mengatakan itu.
Widya, diam seribu bahasa,
hal kurang pintar dari manusia sejak dulu kala adalah memikirkan sesuatu yang
buruk di kondisi yang buruk yang bahkan tidak seharusnya mereka lakukan
manakala doa bisa saja dikabulkan sewaktu-waktu.
"Mlaku o disek, ben
aku isok nyawang awakmu (jalan saja dulu, biar aku bisa tetap memantau
kamu)," kata Wahyu.
Sudah tidak tahan
mendengar berapa kali kata "goblok" keluar dari mulut Widya,
sepanjang mereka berjalan sendirian menyusuri jalan ini sembari mencoba
menstarter motor.
Entah berapa lama mereka
berjalan, dan masih belum ditemui satupun pengendara yang dimintai pertolongan.
Wahyu masih melihat Widya,
berjalan sendirian di depan, tak sekalipun wajahnya menengok Wahyu seolah Wahyu
sudah melakukan kesalahan paling fatal, yang pernah Wahyu buat. Sampai, langkah
kakinya berhenti.
Widya, menghentikan
langkah kakinya, Wahyu yang melihat itu, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang
salah, pasti.
"Nek sampek awakmu
kesurupan, bener-bener parah awakmu, gak isok ndelok sikonku nyurung montor ket
mau (kalau sampai kamu kesurupan, bener-bener keterlaluan kamu, apa gak bisa
lihat kondisiku sudah capek dorong motor dari tadi)."
Widya melihat Wahyu, mata
mereka saling memandang satu sama lain.
"Yu, krungu ora?
Suara mantenan (Yu, dengar tidak? Ada suara hajatan)?"
Bukan mau mengatakan Widya
sinting, tapi, Wahyu juga mendengarnya, dan suara itu tidak jauh dari tempat
mereka.
"Wid, eleng gak, jare
wong dodol cilok, nek onok opo-opo lanjut ae (Wid, inget gak kata penjual
cilok, jangan berhenti walau ada apapun, kita lanjut saja)."
Seperti kata Wahyu, Widya
pun melanjutkan perjalanan, semakin mereka berjalan, semakin keras suara itu,
dan semakin lama, diiringi suara tertawa dari orang-orang yang sedang
melangsungkan hajatan.
Sampai, dilihatnya,
terdapat janur kuning melengkung. Di sana, Widya melihatnya sebuah pesta, tepat
di sebuah tanah lapang samping jalan raya, seperti sebuah area perkampungan. Di
sana, lengkap dengan orang-orangnya, juga panggung tempat musik didendangkan.
Wahyu dan Widya, terdiam
cukup lama, seperti termenung memastikan bahwa yang mereka lihat, manusia.
Tidak ada angin, tidak ada
hujan, Wahyu dan Widya tercekat saat ada orang tua bungkuk bertanya tiba-tiba
tepat di samping mereka.
"Nopo le (ada apa
nak)?" suaranya halus sekali, sangat halus. "Sepeda'e mblodok
(motornya mogok)?"
Wahyu dan Widya hanya
mengangguk, pasrah.
Si orang tua memanggil
anak-anak yang lebih muda, kemudian menuntun sepeda. Menepi dari jalan raya,
tidak lupa, si orang tua mempersilahkan Wahyu dan Widya istirahat sebentar, sembari
menunggu motornya dibetulkan.
Suanasanya ramai, semua
orang sibuk dengan urusanya sendiri-sendiri. Ada yang bercanda, ada yang
mengobrol satu sama lain, ada yang menikmati alunan gamelan yang ditabuh
seirama, lengkap dengan si pengantin yang terlihat jauh dari tempat Wahyu dan
Widya duduk.
"Aku ra eroh nek onok
kampung nang kene (aku tidak tau ada kampung disini)."
Widya hanya diam saja,
matanya fokus pada panggung, di depan penabuh gamelan masih ada ruang. Acara
apa yang akan mereka adakan dengan ruang seluas itu.
Rupanya, pertanyaan Widya
segera terjawab. Dari jauh, tiba-tiba tercium aroma melati. aroma yang familiar
bagi Widya, diikuti serombongan orang.
Di hadapanya ada seorang
penari, ia di tuntun naik ke atas panggung. Kemudian, semua orang memandang
pada satu titik, tempat penari mulai berlenggak lenggok di atas panggung. Semua
mata, seperti terhipnotis melihatnya.
"Ayu'ne
curr!!"(cantik sekali anj*ng)," kata Wahyu
Bingung, apakah hanya
perasaan saja, mata si penari beberapa kali mencuri pandang pada Widya. Ia
seperti mengenal penari itu, tapi, tidak ada yang tau siapa si penari.
Sampai si bapak tua
kembali, menawarkan makanan pada mereka. Wahyu yang mungkin lapar, melahap
habis mulai dari lemper sampai apem di hadapannya, sembari bercakap-cakap sama
si bapak tua.
Namun, Widya lebih suka
melihat si penari, ia mampu membuat semua orang tertuju melihatnya, menatapnya
dengan tatapan yang menghipnotis.
Setelah si penari turun
dari panggung, si bapak mengatakan, motor mereka sudah selesai, bisa dinaikin
lagi, benar saja.
Motor mereka sudah bisa
dipakai lagi. Sebelum pergi, Wahyu dan Widya berpamitan, mereka berterimakasih
sudah mau menolong mereka yang kesusahan.
Si bapak mengangguk,
mengatakan mereka harus hati-hati, tidak lupa si bapak memberi bingkisan,
menunjukkan isinya pada Wahyu dan Widya. Itu adalah jajanan yang dihidangkan
tadi, membungkusnya dengan koran. Widya menerimanya, mengucap terima kasih
lagi, lalu lanjut pergi.
Tidak ada yang seheboh
Wahyu, yang terus berbicara tentang cantiknya paras si penari, kisaran usianya
mungkin lebih tua dari mereka, namun, cara dia berdandan, bisa menutupi usianya
sehingga dari jauh, kecantikannya terlihat begitu sulit digambarkan.
Widya, lebih tertarik
dengan kampung itu. Demi apapun, sewaktu perjalanan, tidak ditemui satu kampung
pun, jangankan kampung, warung saja tidak ada sama sekali.
Namun, motor Wahyu
benar-benar mereka betulkan, dan mereka tulus membantu tanpa meminta apapun.
Jadi, apa mungkin, hantu bisa membetulkan motor.
Satu yang coba Widya
yakini, mungkin mereka tidak melihat kampung tadi saja, yang terpenting, di
jalan setapak ini, desa KKN mereka sudah semakin dekat.
Sesampainya di kampung,
Wahyu pergi mengembalikan motor, sedangkan Widya sudah ditunggu oleh semua
anak, mereka khawatir, berdiri menunggu di teras rumah.
"Tekan ndi seh? Kok
suwe'ne (dari mana sih? kok lama sekali)," kata Ayu,
"Tekan Kota, belonjo
keperluan kene (dari kota belanja keperluan kita)."
Nur membuang muka melihat
Widya. Sudah biasa, kadang Nur memang seperti itu, setelah dia menceritakan
kejadian kemarin, ia tidak lagi mau membicarakan itu. Sekarang, dia sedikit
menjauhi Widya, dan ia merasakan itu, sangat terasa.
Di suasana tegang itu,
hanya Bima yang mencoba mencairkan suasana.
"Wes ta lah, kok kaku
ngene seh (sudahlah, kok canggung gini)."
Bima menggandeng Widya,
menyuruhnya masuk rumah.
"Awakmu pegel, kan
(kamu pasti capek kan)."
Penutup
Demikian tadi cerita lengkap KKN di Desa Penari Versi Widya part 7 yang bisa anda baca. Untuk cerita selanjutnya tentang
KKN di Desa Penari Versi Widya bisa anda baca disini >>> KKN di Desa Penari Versi Widya part 8.
Post a Comment for "KKN di Desa Penari Versi Widya Part 7, Cerita Viral yang Saat ini Tayang di Bioskop"