KKN di Desa Penari Versi Widya Part 5, Cerita Viral yang Saat ini Tayang di Bioskop
BambuBeracun, Cerita KKN di Desa Penari versi Widya part 5
ini merupakan lanjutan dari cerita KKN di Desa Penari versi Widya part 4.
Cerita viral yang saat ini tayang di Bioskop merupakan cerita yang ditulis oleh
akun Twitter SimpleMan, @SimpleM81378523 pada 20 juni 2019 silam.
Nah berikut cerita lengkap KKN di Desa Penari Versi Widya part 5 yang dikutip dari postingan SimpleMan:
KKN di Desa Penari Versi Widya Part 5
Berikutnya, Wahyu dan Ayu
kaget setengah mati, sampai harus menyemburkan kopi yang ia teguk, mimik
wajahnya bingung, karena rasa kopinya tidak hanya pahit, tapi sangat pahit,
sampai tidak bisa ditolerin masuk ke tenggorokan.
Anehnya, Pak Prabu meneguk
kopi itu biasa saja. "Begini," kata mbah Buyut, beliau menggunakan
bahasa Jawa halus sekali, sampai ucapannya kadang tidak bisa dipahami semua
anak. Ada kalimat penari dan penunggu, namun yang lainnya tidak dapat dicerna.
Ia menunjuk Widya tepat di
depan wajahnya, mimik wajahnya sangat serius.
Pak Prabu mendengarkan
dengan seksama, lalu berpamitan pulang.
Sebelum mereka pulang,
mbah Buyut memberi kunir tepat di dahi Widya, katanya untuk menjaga Widya saja.
Kunjungan itu sama sekali
tidak diketahui tujuannya. Selama perjalanan, Pak Prabu bercerita, tentang
kopi. Kopi yang dihidangkan mbah Buyut tadi adalah Kopi ireng yang diracik
khusus untuk memanggil lelembut, demit dan sejenisnya.
Bukan kopi untuk manusia,
mereka yang belum pernah mencobanya, pasti akan memuntahkannya. Namun, bagi
lelembut dan sebangsanya, kopi itu manis sekali.
Semua anak memandang
Widya. Namun Pak Prabu segera mengatakan hal lain. "Sepurane sing akeh
nduk, sampeyan onok sing ngetut'i (mohon maaf ya nak, kamu, ada yang
mengikuti)."
Selain mengatakan itu, Pak
Prabu juga mengatakan bahwa tidak perlu takut, karena Widya tidak akan serta
merta di apa-apakan, hanya diikuti saja. Yang lebih penting, Widya tidak boleh
dibiarkan sendirian, harus selalu ada yang menemaninya. Untuk itu, Pak Prabu
punya gagasan. Mulai malam ini, mereka akan tinggal dalam satu rumah, hanya
dipisahkan oleh sekat dari bambu anyam, Pak Prabu hanya meminta satu hal,
jangan melanggar etika dan norma saja.
Pertemuan itu juga diminta
untuk tidak diceritakan ke siapapun lagi, bahkan Nur, Anton dan Bima.
Tempat tinggal mereka yang
baru tepat ada di ujung, cukup besar, dan bekas rumah keluarga yang merantau,
sekaligus hal ini menjawab pertanyaan kenapa jarang ditemui anak seumuran
mereka di desa ini, rupanya, kebanyakan anak-anak yang sudah akil baligh pasti
pergi merantau.
Di belakang rumah, ada
watu item (batu kali) cukup besar, dengan beberapa pohon pisang dan dikelilingi
daun tuntas.
Anton awalnya tidak setuju
mereka pindah, karena atmoser rumahnya yang memang tidak enak dan itu bisa
terlihat dari luar, namun ini, perintah dari Pak Prabu. Setelah kejadian itu,
Ayu sedikit menghindari Widya.
Widya paham akan hal itu,
namun Wahyu sebaliknya, ia mendekati Widya dan memberi semangat agar tidak
mencerna mentah-mentah pesan orang tua itu.
Di sini Wahyu bercerita
kejadian yang tidak ia ceritakan di malam kejadian itu. "Wid, kancamu cah
lanang iku, gak popo tah (Wid, temanmu yang cowok itu baik-baik saja
kah)?"
"Maksud'e mas?"
"Cah iku, ben bengi
metu Wid, emboh nang ndi, trus biasane balik-balik nek isuk, opo garap proker
tapi kok bengi (temanmu itu, setiap larut malam keluar Wid, entah kemana, trus
biasanya baru balik pagi, apa sedang mengerjakan prokernya tapi kok harus malam)?"
"Ra paham aku mas
(gak ngerti aku mas)."
"Trus," kata
Wahyu, "aku sering rungokno, cah iku ngomong dewe nang kamar (aku sering
denger anak itu ngomong sendirian di dalam kamar)."
"Ra mungkin tah mas
(gak mungkinlah mas)."
"Sumpah!! Gak iku
tok, kadang, cah iku koyok ngguyu-ngguyu dewe, stress palingan (gak cuma itu,
kadang dia tertawa sendirian, gila kali anak itu)."
"Bima iku religius
mas, ra mungkin aneh-aneh (Bima itu religius, gak mungkin aneh-aneh)."
"Yo wes, takono Anton
nek ra percoyo, bengi sak durunge aku eroh awakmu nari, Bima asline onok nang
kunu, arek'e ndelok tekan cendelo, paham awakmu sak iki. Gendeng cah iku. (ya
sudah, tanya Anton kalau gak percaya, malam sebelum kejadian itu, Bima
sebenarnya ada di kejadian, dia cuma lihat kamu dari jendela, paham kamu
sekarang, gila itu anak)."
Widya diam lama, memproses
kalimat itu, ia melihat Wahyu pergi dengan raut wajah kesal.
Malam semua anak sudah
berkumpul, Nur ada di kamar, dia sedang sholat.
Widya di ruang tengah
sendirian, sedangkan Ayu, Wahyu dan Anton ngobrol di teras rumah, Bima, ada
pertemuan dengan Pak Prabu.
Sebelum suara kidung
terdengar lagi, suaranya dari arah pawon (dapur) untuk mencapai pawon, Widya
melewati kamar, di sana Nur sedang bersujud, semakin lama, suaranya semakin
terdengar dengan jelas.
Pawon rumah ini hanya
ditutup dengan tirai, saat Widya menyibak tirai, ia melihat Nur, sedang meneguk
air dari kendi, lengkap dengan mukenanya.
Widya mematung, diam, lama
sekali, sampe Nur yang meneguk dari kendi melihatnya.
Mata mereka saling
memandang satu sama lain.
"Lapo Wid (kenapa
Wid)?" tanya Nur.
Widya masih diam, Nur pun
mendekati Widya, sontak Widya langsung lari, dan melihat isi kamar, di sana,
tidak ada Nur
"Onok opo toh asline
(ada apa tah sebenarnya)?" tanya Nur yang sekarang di samping Widya, ia
memegang bahu Widya.
Dingin, tangan Widya masih
gemetaran, sampai semua anak melihat mereka kemudian mendekatinya.
"Lapo kok rame'ne
(kenapa kok rame sekali)," tegur Ayu.
"Gak eroh, cah iki
ket maeng dijak ngomong ra njawab-njawab (gak tau, anak ini ditanya dari tadi
gak jawab-jawab)."
"Lapo Wid?"
Wahyu mendekati
"Tanganmu kok
gemeteran ngene, onok opo sih (tanganmu kenapa gemetaran begini, ada apa
sih)?" tanya Anton.
"Nur, jupukno ngombe
kunu loh, kok tambah meneng ae (Nur, ambilkan air gitu loh, kok malah diam
saja)," tegur Anton.
Nur kembali dengan teko
kendi yang tadi, dia memberikanya pada Widya, dan Widya kemudian meneguknya.
Lalu, tiba-tiba Widya diam lagi membuat semua orang bingung.
Tangan kiri Widya masih
memegang teko, sedangkan tangan kanannya, terangkat lalu masuk ke dalam mulut,
di sana, Widya berusaha mengambil sesuatu, ada 2 sampai 3 helai rambut hitam,
panjang, dan itu keluar dari dalam mulut Widya.
Semua yang menyaksikannya,
beringsut mundur, kaget. Begitu penutup tekonya dibuka, di dalamnya, ada
segumpal rambut, benar-benar segumpal rambut dengan air di dalamnya.
Nur yang melihatnya
langsung bereaksi. "Aku mau yo ngombe teko kunu, gak eroh aku onok barang
ngunu'ne (tadi aku juga minum dari situ, gak tau ada begituannya)."
Widya muntah
sejadi-jadinya. Saat keadaan tegang seperti itu, Anton tiba-tiba mengatakan,
"awakmu diincer yo Wid, jare mbahku, nek onok rambut gak koro metu, iku
biasane nek gak disantet yo diincer demit. (kamu diincar ya Wid, kata mbahku,
kalau tiba-tiba muncul rambut, itu biasanya kalau gak disantet ya di incar
makhluk halus)."
Nur, kemudian
mengatakannya.
"Wid, opo penari iku
jek ngetuti awakmu, soale ket wingi aku wes ra ndelok gok mburimu maneh (Wid,
apa penari itu masih ngikutin kamu, soalnya dari kemarin aku belum lihat dia di
belakangmu)."
Berhari-hari setelah
pengakuan Nur itu, membuat Widya semakin was-was, ia jatuh sakit selama 3 hari,
dan selama itu juga, Widya hanya terbaring di atas tikar kamar.
Nur tidak melanjutkan lagi
ceritanya, karena katanya ia sudah salah mengatakannya, seharusnya ia menahan
cerita itu.
Selama Widya terbaring
sakit, ia seringkali ditinggal sendirian di dalam rumah itu, dan selama tinggal
di rumah itu, ada satu kejadian yang tidak akan pernah Widya lupakan.
Penutup
Demikian tadi cerita lengkap KKN di Desa
Penari Versi Widya part 5 yang bisa anda baca. Untuk cerita selanjutnya tentang
KKN di Desa Penari Versi Widya bisa anda baca disini >>> KKN di Desa Penari Versi Widya part 6.
Post a Comment for "KKN di Desa Penari Versi Widya Part 5, Cerita Viral yang Saat ini Tayang di Bioskop"