Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KKN di Desa Penari Versi Widya Part 4, Cerita Viral yang Saat ini Tayang di Bioskop


BambuBeracun, Cerita KKN di Desa Penari versi Widya part 4 ini merupakan lanjutan dari cerita KKN di Desa Penari versi Widya part 3. Cerita viral yang saat ini tayang di Bioskop merupakan cerita yang ditulis oleh akun Twitter SimpleMan, @SimpleM81378523 pada 20 juni 2019 silam.

Nah berikut cerita lengkap KKN di Desa Penari Versi Widya part 4 yang dikutip dari postingan SimpleMan:


KKN di Desa Penari Versi Widya Part 4

Listrik di desa ini menggunakan tenaga genset, jadi ketika jam menunjukkan pukul 9 lampu sudah mati, diganti dengan petromak. Nur sudah pergi tidur, hanya tinggal Widya dan Ayu yang masih menyelesaikan progres untuk proker esok hari.

Widya masih teringat kejadian sore tadi.

Sebenarnya Widya mau cerita, namun bila melihat respon Ayu kemarin, sepertinya ia bakal disemprot dan berujung pada pidato tengah malam.

Di tengah keheningan mereka menggarap progres, tiba-tiba Ayu mengatakan sesuatu yang membuat Widya tertarik. "Mau aku ambek Bima, ngecek progres gawe pembuangan, pas muter deso, iling gak ambek Tapak talas, tibakne, gak adoh tekan kunu, onok omah sanggar. (tadi aku sama Bima, mengecek progres untuk pembuangan, ketika memutari desa, ingat tidak sama Tapak Tilas, ternyata, gak jauh dari sana, ada sebuah bangunan tua menyerupai sanggar)

Widya terdiam beberapa saat, memproses kalimat Ayu

"Loh, awakmu kan wes reti nek gak oleh mrunu (Loh, bukanya kamu sudah mengerti dilarang berada di sana)!!"

"Bukan aku," bela Ayu, "Iku ngunu Bima sing ngajak (yang mengajak Bima). Jarene, onok wedon ayu mlaku mrunu, pas di tut'i, ra onok tibak ne (katanya ada perempuan cantik, pas diikuti ternyata gak ada)."

"Lah trus, awakmu tetep ae mrunu (lah terus kamu tetap ke sana)?"

"Cah iki, yo kan aku ngejar Bima, opo di umbarke ae cah kui ngilang (anak ini, kan saya mengejar Bima, apa dibiarkan saja anak itu nanti hilang)?"

Perdebatan mereka berhenti sampai di sana, namun perasaan Widya semakin tidak enak. Sejak menginjak desa ini, semuanya terasa seperti kacau-balau.

Karena malam semakin larut, Widya pun beranjak pergi ke kamar, di sana ia melihat Nur, sudah terlelap dalam tidurnya. Ayu pun menyusul kemudian, berharap malam ini segera berlalu.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki saat Widya melihat apa yang terjadi, bayangan Nur melangkah keluar. Ragu, apakah mau membangunkan Ayu, Widya pun beranjak dari tempatnya tidur, berjalan, mengejar Nur.

Rumah sudah gelap gulita, sang pemilik rumah tampaknya sudah terlelap di dalam kamarnya, di depan Widya, pintu rumah sudah terbuka lebar, dengan perlahan, Widya melangkah ke sana.

Malam itu sangat gelap, lebih gelap dari perkiraan Widya. Bayangan pohon tampak lebih besar dari biasanya dan sayup-sayup terdengar suara binatang malam, sangat sunyi, sangat sepi. Di lihatnya ke sana-kemari mencari di mana keberadaan Nur, Widya terpaku melihat Nur, di depannya.

Nur berdiri di tanah lapang depan rumah, dia menari dengan sangat anggun, tanpa alas kaki, Nur berlenggak-lenggok layaknya penari profesional.

Widya, termangu mematung melihat temannya seperti itu. Ragu, Widya mendekatinya. Tak pernah terpikirkan Nur bisa menari seperti ini.

"Nur," panggil Widya, tapi sosok Nur seperti tidak mendengarkannya, ia masih berlenggak-lenggok, sorot matanya beberapa kali melirik Widya, ngeri, tiba-tiba bulu kuduk terasa berdiri ketika memandangnya.

Dari jauh, sayup-sayup, kendang terdengar lagi, Widya semakin dibuat takut, tabuhan gamelan sahut menyahut, campur aduk dengan tarian Nur yang seperti mengikuti alunan itu.

Kaki seperti ingin lari dan melangkah masuk rumah, tapi Nur semakin menggila, ia masih menari dengan senyuman ganjil di bibirnya. Sampai akhirnya Widya memaksa Nur menghentikan tariannya. Ia berteriak meminta temannya agar berhenti bersikap aneh. Dan saat itulah, wajah Nur berubah menjadi wajah yang sangat menakutkan.


Sorot matanya tajam, dengan mata nyaris hitam semua. Widya menjerit sejadi-jadinya. Kali berikutnya, seseorang memegang Widya kuat sekali, menggoyangkannya sembari memanggil namanya, Wahyu.

Widya melihat Wahyu yang menatapnya dengan tatapan bingung plus takut.

"Bengi-bengi lapo As* nari-nari gak jelas nang kene (malam-malam ngapain anji*g!! nari sendirian di sini seorang diri)!!"

Jeritan Widya rupanya membangunkan semua orang, termasuk si pemilik rumah. Widya melihat sorot mata semua orang memandangnya, tak terkecuali Nur yang rupanya baru saja keluar dari dalam rumah.

"Onok opo to ndok (ada apa sih nak)?" kalimat itulah yang pertama kali Widya dengar. Si pemilik rumah tampak khawatir, namun Widya lebih tertuju pada Nur, ia juga memandang dirinya, mereka sama-sama termangu memandang satu sama lain.

Kejadian itu, diakhiri dengan cerita Wahyu.

Wahyu menceritakan semuanya, awalnya ia hanya ingin mengisap rokok sembari duduk di teras posyandu, kemudian ia tidak sengaja melihat seseorang, sendirian, menari-nari di tanah lapang, karena penasaran, Wahyu mendekat, sampai Wahyu baru sadar bila yang menari itu adalah Widya.

Semua yang mendengarkan cerita Wahyu hanya bisa menatap nanar, tidak ada yang berkomentar. Si pemilik rumah akhirnya menyuruh mereka semua bubar dan masuk ke dalam rumah lagi, karena hari semakin larut.

Si pemilk rumah, berjanji akan menceritakan ini kepada Pak Prabu. Namun ada satu hal, yang sengaja Wahyu tidak ceritakan, nanti, ia akan menjelaskan semuanya.

Namun malam itu, benar-benar malam yang gila, seolah-olah menjadi pembuka rangkaian kejadian yang akan mereka hadapi di sela tugas KKN mereka ke dalam situasi yang paling serius.

Semua orang sudah berkumpul, memenuhi panggilan Pak Prabu. Beliau bertanya tentang bagaimana kronologi kejadian. Ayu mengaku tidak tahu, Widya mengatakan ia sedang mengejar Nur yang pergi keluar rumah, namun Nur mengatakan ia hanya pergi ke dapur untuk mencari air minum.

Semua penjelasan itu tidak membantu sama sekali, namun tampak dari raut muka Pak Prabu, ia lebih tertarik bagaimana Widya bisa menari bila latar belakangnya saja bahwa ia mengaku tidak pernah belajar menari sebelumnya

Hari itu, Pak Prabu meminta Widya, Ayu dan Wahyu, menemaninya. Nur pergi, ia masih harus mengerjakan proker individualnya.

Dengan berbekal motor butut yang tempo hari digunakan untuk mengantar mereka masuk ke desa ini, kali ini digunakan untuk mengantar mereka ke rumah seseorang.

Wahyu dengan Widya, Pak Prabu berboncengan dengan Ayu. Jalur yang mereka tempuh hampir sama dengan jalur yang tempo hari, anehnya, kali ini Widya merasakan sendiri, untuk sampai ke jalan raya tidak sampai 1 jam, malah tidak sampai 30 menit, lalu, bagaimana bisa ia merasakan waktu selambat itu pada malam ketika orang-orang desa menjemput.

Rumah yang Pak Prabu datangi, rupanya rumah seseorang.

Melintasi jalan besar, lalu masuk lagi ke sebuah jalan setapak buatan, Rumahnya bagus, malah bisa di bilang paling bagus dibandingkan rumah orang-orang desa, hanya saja, rumah itu berdiri di tengah sisi hutan belantara lain.

Berpagar batu bata merah, dengan banyak bambu kuning, rumah itu terlihat sangat tua, namun masih enak dipandang mata.

Di depan rumah, ada orang tua, kakek-kakek, sepuh, berdiri seperti sudah tau bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung. Tidak ada yang tahu nama kakek itu, namun Pak Prabu memanggilnya mbah Buyut. Setelah Pak Prabu selesai menceritakan semuanya, wajah mbah Buyut tampak biasa saja, tidak tertarik sama sekali dengan cerita Pak Prabu yang padahal membuat semua anak-anak masih tidak habis pikir.

Sesekali memang mbah Buyut terlihat menatap Widya, terkesan mencuri pandang, namun ya begitu, hanya sekadar mencuri pandang saja, tidak lebih.

Dengan suara serak, mbah Buyut pergi ke dalam rumah, beliau kembali dengan 5 gelas kopi yang di hidangkan di depan mereka.

"Monggo (silahkan)," kata beliau, matanya memandang Widya.

Melihat itu, Widya menolak, mengatakan dirinya tidak pernah meminum kopi, namun senyuman ganjil mbah Buyut membuat Widya sungkan, yang akhirnya berbuntut ia meneguk kopi itu meski hanya satu tegukan saja.

Kopinya manis, ada aroma melati di dalamnya, yang awalnya Widya hanya mencoba-coba tanpa sadar, gelas kopi itu sudah kosong.

Tidak hanya Widya, semua orang ditegur agar mencicipi kopi buatan beliau, katanya tidak baik menolak pemberian tuan rumah. Semua akhirnya mencobanya.

Penutup

Demikian tadi cerita lengkap KKN di Desa Penari Versi Widya part 4 yang bisa anda baca. Untuk cerita selanjutnya tentang KKN di Desa Penari Versi Widya bisa anda baca disini >>> KKN di Desa Penari Versi Widya part 5.


Post a Comment for "KKN di Desa Penari Versi Widya Part 4, Cerita Viral yang Saat ini Tayang di Bioskop"