KKN di Desa Penari Versi Widya Part 2, Cerita Viral yang Saat ini Tayang di Bioskop
BambuBeracun, Cerita KKN di Desa Penari versi Widya part 2
ini merupakan lanjutan dari cerita KKN di Desa Penari versi Widya part 1.
Cerita viral yang saat ini tayang di Bioskop merupakan cerita yang ditulis oleh
akun Twitter SimpleMan, @SimpleM81378523 pada 20 juni 2019 silam.
Nah berikut cerita lengkap KKN di Desa Penari Versi Widya part 2 yang dikutip dari postingan SimpleMan:
KKN di Desa
Penari Versi Widya Part 2
Sampailah mereka di Desa
W****, tempat mereka akan mengabdikan diri selama 6 minggu ke depan.
"Monggo
(permisi)," kata lelaki itu, sebelum meninggalkan Widya dengan motornya.
"Mrene rek,"
teriak Ayu. Di sampingnya berdiri seorang pria, wajahnya tenang, dengan kumis
tebal, mengenakan kemeja batik khas ketimuran, ia berdiri seolah sudah menunggu
sedari tadi.
"Kenalno, niki Pak
Prabu, kepala desanya, koncone mas'ku. Pak Prabu, niki rencang kulo yang dari
Kota S, mau melaksanakan kegiatan KKN di kampung panjenengan (Kenalkan, ini Pak
Prabu, kepala desa teman kakakku. Pak Prabu, ini teman saya yang dari kota S,
yang rencananya mau KKN)."
Pak Prabu memperkenalkan
diri, bercerita tentang sejarah desanya. Di tengah ia bercerita, Widya pun
bertanya kenapa desanya harus sepelosok ini. Dengan tawa sumringah, Pak Prabu
menjawab: "Pelosok yok nopo toh mbak, jarak ke dalan gede cuma setengah
jam kok (pelosok bagaimana maksudnya mbak, bukannya jarak ke jalan besar hanya
30 menit)?"
Tatapan bingung Widya,
disambut tatapan bertanya oleh semua temannya, seolah pertanyaannya kok
membingungkan.
"Mbak'e paling pegel,
wes, tak anter nang ndi sedoyo bakal tinggal (mbaknya mungkin capek, jadi,
mari, tak antar ke tempat di mana nanti kalian tinggal)."
Di tengah kebingungan itu,
Ayu menegur Widya. "Maksudmu opo to Wid, takon koyok ngunu? Garai sungkan
ae (Maksudnya bagaimana Wid, kok kamu tanya seperti itu, membuat situasi jadi
sungkan)."
Di situ, Widya menyadari,
ada yang salah.
Tempat menginap untuk
laki-laki adalah rumah gubuk yang dulunya seringkali dipakai untuk posyandu,
tapi sudah diubah sedemikian rupa, meski beralaskan tanah, tapi di dalamnya
sudah ada bayang (ranjang tidur) beralaskan tikar.
Sedangkan untuk perempuan,
menginap di salah satu rumah warga.
Di dalam kamar, Widya pun
menjelaskan maksud ucapannya kepada Pak Prabu, karena sepanjang perjalanan,
bila dirasakan oleh Widya sendiri, itu lebih dari satu jam. Ayu membantah bahwa
lama perjalanan tidak sampai selama itu. Anehnya, Nur memilih tidak ikut berdebat.
Nur, lebih memilih untuk
diam. "Ngene, awakmu krungu ora, nang dalan alas mau, onok suara gamelan
(gini, kamu dengar apa tidak , di jalan tadi, ada suara orang memainkan
gamelan)?"
"Yo paling onok
hajatan lah, opo maneh (ya palingan ada warga yang mengadakan hajatan,
apalagi)."
Berbeda dengan Ayu, Nur
menatap Widya dengan ngeri sembari berbicara lirih. Nur yang seharusnya paling
ceria di antara mereka berkata, "mbak, ra onok deso maneh nang kene, gak
mungkin nek onok hajatan, nek jare wong biyen, krungu gamelan nang nggon kene,
iku pertanda elek (mbak, tidak mungkin ada desa lain di sini, tidak mungkin ada
acara di dekat sini, kalau kata orang jaman dulu, kalau dengar suara gamelan,
itu pertanda buruk)
Mendengar itu, Ayu
tersulut dan langsung menuding Nur sudah ngomong yang tidak-tidak.
"Nur, ra usah ngomong
aneh-aneh kui, awakmu yo melok observasi nang kene ambek aku, mosok gorong
sedino wes ngomong ra masuk akal ngunu (Nur, jangan ngomong sembarangan kamu,
bukannya kamu ikut observasi di kampung ini sama aku, belum sehari kamu sudah
ngomong yang gak masuk akal begini)."
Ayu pergi, meninggalkan
Widya dengan Nur. Saat itu, Nur mengatakan, "mbak, aku yo krungu suara
gamelan iku (mbak, aku juga dengar suara gamelan itu). Masalahe mbak, aku yo
ndelok onok penari'ne nang dalan mau (masalahnya, aku juga lihat ada yang
menari di jalan tadi)
"Astaghfirullah,"
kata Widya tidak percaya.
Nur menatap nanar Widya,
air matanya sudah seperti memaksa keluar, Widya hanya memeluk dan mencoba
menenangkannya.
Benar kata ibunya tempo
hari.
"Banyu semilir mlayu
nang etan." (air selalu mengalir ke arah timur) yang memiliki makna, bahwa
timur adalah tempat di mana semua dikumpulkan menjadi satu, antara yang buruk
dan yang paling buruk, dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur.
Cerita Nur dan Widya
tentang suara gamelan di sepanjang perjalanan tadi, masih awalnya saja, ibarat
sebuah kopi masih sampai di rasa yang paling manis, belum sampai di rasa yang
paling pahit.
Widya memang percaya
terhadap hal-hal yang gaib, itu ada di dalam ajaran agamanya. Namun baru kali
ini ia merasakan langsung pengalaman itu, meski hanya sekadar suara. Berbeda
dengan Nur, temannya, ia mengaku melihat yang tidak seharusnya ia lihat.
Mungkin Nur lebih
sensitif. Memang, sejak awal, Nur yang paling berbeda di antara yang lain,
hanya dia seorang yang mengenakan jilbab, dibandingkan dengan Ayu dan dirinya
sendiri. Nur yang paling religius, karena setahu Widya sendiri, Nur jebolan
pondok pesantren ternama di kota "J".
Terlepas dari itu semua,
pengalaman KKN ini, tidak akan pernah dilupakan oleh semua rombongan ini.
"Nur," kata
Widya masih menenangkan. "Nur bisa ndak, cerita ini ojok sampe nyebar yo
gok arek2, kan gak enak, nek sampe kerungu ambi warga deso, opo maneh kita di
sini iku tamu, insyaallah, kabeh lancar, nggih (Nur, bisa gak, cerita ini
jangan sampai menyebar ke teman-teman. Kan jadi gak enak, kalau sampai warga
desa dengar, apalagi kita di sini itu sebagai tamu, insyaallah, semua akan
baik-baik saja, ya)."
Nur mengangguk, meski
enggan menjawab kalimat Widya, dan malam itu, tanpa terasa dilewati begitu
saja.
Keesokan harinya,
rombongan sudah berkumpul, sesuai janji Pak Prabu, hari ini, akan keliling
desa, melihat semua proker yang sudah diajukan oleh Ayu tempo hari, sekaligus,
meminta saran untuk proker individu yang harus dikerjakan oleh satu anak
sendiri-sendiri.
"Ngene iki, walaupun
saya tinggal nang kene, aku yo pernah kuliah loh dek, sarjana lagi," kata
Pak Prabu, bahasanya medok, campur-campur antara Bahasa Jawa dan Bahasa
Indonesia,
Mendengar itu, Wahyu
menimpali, "Iku lo, rungokno bapak'e, walaupun wong deso, gak lali kuliah
(itu loh, dengarkan bapaknya, walaupun orang desa, tidak lupa kuliah)."
Wahyu melanjutkan,
"bapak'e ambil apa dulu? Perhutanan ya?"
"Bukan," kata
beliau santai, "pertanian."
"Lah ra onok sawah
nang kene, piye toh pak (lah, di sini gak ada sawah, gimana sih pak)?"
"Ya, memangnya
sampeyan pikir hanya karena ambil pertanian harus terjun ke sawah?"
Jawaban Pak Prabu sontak
membuat tawa pecah. Widya melirik Nur, dia sudah bisa ceria lagi, melupakan
sejenak kejadian semalam.
Sampailah, mereka di
pemberhentian pertama. Sebuah pemakaman desa. Aneh, itu yang pertama kali
dipikirkan Widya, atau mungkin serombongan orang, di setiap nisan, ditutup oleh
kain hitam.
Pemakamannya sendiri,
dikelilingi pohon beringin dan di setiap pohon beringin, ada batu besar di
sampingnya. Di sana, ada lengkap, sesajen di depannya.
Nur yang tadi ikut
tertawa, tiba-tiba menjadi diam. Ia menundukkan kepalanya, seolah tidak mau
melihat sesuatu. Pagi itu tiba-tiba terasa gelap di dalam pikiran Widya.
"Ngapunten pak, niki
nopo nggih kok... (mohon maaf pak, ini kenapa ya kok...)."
belum selesai Widya
bicara, pak Prabu memotongnya.
"Saya tau, apa yang
adik mau katakan, pasti mau tanya, kok patek (nisan)-nya, ditutupi pakai kain,
gitu to?"
Widya mengangguk.
rombongan menatap serius Pak Prabu, terkecuali Wahyu dan Anton. Terdengar
mereka sayup tertawa kecil
"Ini itu namanya
Sangkarso, kepercayaan orang sini."
"Jadi biar tahu,
kalau ini loh pemakaman," terang Pak Prabu, yang jawabannya sama sekali
tidak membuat serombongan anak puas, sampai-sampai Wahyu dan Anton walaupun
pelan sengaja menyindir.
Namun Pak Prabu bisa
mendengarnya.
"Wong pekok yo isok
mbedakno kuburan karo lapangan pak (orang bodoh juga bisa membedakan kuburan
dan lapangan bola pak)."
Pak Prabu yang awalnya
tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba diam, raut wajahnya berubah dan tak
tertebak.
"Semoga saja, kalian
tahu yang diomongkan ya."
Kalimat Pak Prabu seperti
penekanan yang mengancam, setidaknya itu yang Widya rasakan. Sontak, Bima
langsung merespon dengan meminta maaf, namun Wahyu dan Anton memilih diam
setelah mendengar respon Pak Prabu.
Penutup
Demikian tadi cerita lengkap KKN di Desa
Penari Versi Widya part 2 yang bisa anda baca. Untuk cerita selanjutnya tentang
KKN di Desa Penari Versi Widya bisa anda baca disini >>> KKN di Desa Penari Versi Widya part 3.
Post a Comment for "KKN di Desa Penari Versi Widya Part 2, Cerita Viral yang Saat ini Tayang di Bioskop"