Catatan Inspiratif Penerima Beasiswa Bidik Misi Bag 2A
Patuhku Untuk Ayah
Oleh Alfi Qurroti
A’yunina
Aku adalah gadis
yang terlahir pada tanggal 3 Januari 1997. Blitar, sebuah kota kecil yang
menjadi tempat naunganku. Tinggal di bawah perlindungan orang tua. Alfi Qinggal
di bawah perlindungan orang tua. Alfi Qinggal di bawah perlindungan orang tua.
Alfi Qurroti A’yuni urroti A’yuni itulah namaku.itulah namaku. Terdengar sangat
familiar. Namun kerap disebut dalam do’a setiap orang.
A’yun, begitulah
orang-orang menyapaku. Cuek, pendiam, sinis, itulah yang selalu orang-orang
lantunkan ketika pertama kali melihatku. Memang benar, aku seorang yang cuek
ketika di sekitarku ada orang-orang baru. Namun aku bukan seseorang yang
pendiam tetapi aku lebih memilih diam dan tak harus berbicara jika tidak ada
yang perlu untuk dibicarakan.
Aku adalah
seorang kakak dari adik kembarku. Menjadi kakak adalah sebuah anugerah yang
memiliki pikulan tanggung jawab besar. Bagaimana tidak? Setiap apa yang aku
lakukan, setiap apa yang aku bicarakan, akan selalu ditiru. Adikku lahir pada tahun
dimana Indonesia mengalami krisis moneter. Tahun dimana adalah sebuah
kebahagiaan bagi keluargaku. Namun ketika itu, acara “selamatan” kelahiran adikku
diadakan sangat sederhana. Terkadang ketika teringat cerita ibu tentang hal
itu, aku merasa harus memberikan apa yang menjadi hak adikku.
Tak terasa kini
aku telah berdiri dengan tas merahku di depan ruangan yang penuh dengan gambar,
lipatan origami, dan juga kertas hias yang terbentang dari sudut ke sudut. Ya,
pertama kali aku menjajaki kelas sekolahku. Yang biasa orang sebut dengan TK.
Aku masih ingat,
pertama kali ke sekolah aku diantar oleh bapak. Bapak mengantarku mengenakan
baju yang sangat kotor penuh dengan sisa-sisa lumpur sawah, tak lupa sepatu
boot yang senantiasa dipakainya. Mengantarku sekaligus pergi ke sawah. Menjadi
pusat perhatian? Tentu. Karena di TK tersebut semua teman-temanku diantar oleh
ibunya, hanya aku yang diantar sesosok bapak yang berpenampilan petani tulen.
Aku tak malu dengan penampilan bapakku bahkan aku tak peduli dengan kata orang.
Turun dari motor, aku langsung berlari menghambur dengan kawan baruku. Bahkan
sampai lupa tidak salam kepada ayah.
Dua tahun aku
bersekolah di TK itu. Selanjutnya aku duduk di sekolah dasar. Aku bersekolah di
sekolah dasar negeri yang ada di desaku. Ketika aku bersekolah di SD tersebut
semua guru kenal denganku. Karena aku selalu menempati rangking tertinggi dan
aku selalu menerimanya setiap semester. Aku selalu diajak untuk mengikuti
olimpiade. Dari hal tersebut muncul sifat dan sikap individualisme pada diriku.
Ketika ujian semester, teman-temanku selalu bertanya jawaban kepadaku, tapi apa
jawabanku? Aku selalu menjawab aku tidak bisa, aku belum mengerjakan nomor itu.
Teman-temanku bilang aku pelit. Memang aku anak yang cuek dan tidak peduli.
Tujuh tahun
silam aku mulai memasuki sebuah sekolah yang berada di bawah naungan Kementrian
Agama. Aku yang berlatar belakang sekolah dasar negeri dan hanya mengaji di TPA
harus bersekolah ke Madrasah Tsanawiyah Negeri. Aku mendengar percakapan ibu
dan bapak. Beliau menginginkan aku bersekolah di MTsN karena dari keluarga
bapak tidak ada riwayat bersekolah di sekolah umum.
Suatu ketika aku
pernah mendengar ibu berbicara dengan bibi. Ibuku merasa tertekan dengan
perkataan yang menusuk hati dari adik iparnya. Kata mereka ”A’yun benjing
bibar sekolah teng SD bade nerusaken teng pundi mbak? Lek disekolahne teng SMP
nopo ajenge bade dados penyanyi dangdut, ingkang mbendinten ndamel rok cekak”.
Dan ibuku selalu menjawab “manut bapake A’yun dek”.
Dan bulekku
(sebutan adik dari ayah/ibu dalam bahasa jawa) yang selalu ingin tahu itu
menimpali, “lha lek manut bapake nggeh dipondokne. Gek A’yun nopo nggeh
betah. A’yun nopo pun ngertos Bahasa Arab. Lha A’yun mawon sekolahe teng SD.
Memang aku dari
sekolah dasar bukan dari madrasah ibtidaiyah. Jangan samakan aku dengan Nuna
sepupuku. Saat itu aku merasa takut, sedih, dan tak tahu harus berbuat apa.
Akhirnya suatu hari aku dipanggil bapak. Bapak bertanya, setelah ini aku
menginginkan sekolah dimana? Tapi aku tidak menjawab.
Tiba-tiba rasa
takut memburuku. Aku teringat percakapan antara ibu dengan bulekku. Aku tidak
mau jika ibu selalu dipojokkan ketika berkumpul bersama keluarga. Aku sendiri
juga tidak mau jika harus menahan beban jiwa dan mental seperti ini. Bapak
bertanya sekali lagi kepadaku, dan aku menjawab seperti jawaban ibu, “kulo
manut bapak. Bapak nyuwun kulo kedah sekolah teng pundi kulo manut”.
Akhirnya bapak
memintaku bersekolah di salah satu MTsN terbaik di Kabupatenku kala itu. Cukup
jauh dari rumah, kira-kira 20km dari rumah. Dan aku harus tinggal di Pondok
Pesantren agar aku bisa memperoleh ilmu lebih dalam lagi. Aku harus tinggal
sendiri dan jauh dari orang tua. Aku merasa aku dibuang, dipenjara di sebuah
sel suci.
Awalnya aku
yakin bahwa aku akan betah dan nyaman di pontren. Terbayang aku akan mendapat
banyak kawan. Selama empat puluh hari aku tidak diperbolehkan untuk pulang.
Hari pertama aku mondok, rasanya sangat mengagumkan, dan ketika aku mendapat
jadwal kegiatan, mataku tak berkedip. Aku kaget dan tak percaya dengan apa yang
aku lihat. Jadwal sehari-hariku seperti ini? Mulai bangun jam tiga dan mulai
tidur jam sebelas malam? Aku masih tak percaya. Begitu padat tak sempat untuk
beristirahat.
Aku bertekad tak
akan menyerah dengan waktu. Satu minggu aku masih enjoy. Satu bulan mulai ada
serangan pada tubuhku. Demam melandaku. Aku bertahan dengan tidak memberitahu
orang tuaku. Dua bulan berlalu. Keadaan semakin parah. Aku jarang masuk sekolah.
Lagipula aku di sekolah selalu mengantuk ketika pelajaran dimulai, efek dari
kurang tidur. Semangatku untuk sekolah hilang seketika. Akhirnya aku dijenguk.
Aku menangis karena sangat rindu kepada orang tuaku. Aku bercerita panjang kali
lebar tentang kondisiku di pondok dan juga kondisi pondok tersebut. Aku
menceritakan betapa kejamnya jadwal yang diberikan. Tapi aku tidak bercerita
kalau jarang masuk sekolah.
Masuk bulan
ketiga aku berada di penjara suci. Kala itu aku merasa benar-benar tidak sadar
siapa diriku. Tubuhku semakin mengecil, dari berat badan 55 kg menjadi 46 kg.
Selang beberapa hari, ibuku menyambangi. Ketika itu bulan ramadhan. Ketika aku
sedang duduk dan bercakap-cakap, tubuhku tiba-tiba terasa lemas, mataku berat,
dan gelap mendatangiku. Aku pingsan.
Aku sadar sudah
di kamar. Akhirnya ibu memutuskan untuk membawaku pulang. Sampai di rumah, aku
langsung dibawa ke bidan. Di sana aku diperiksa dan tensi darahku. Ternyata
tensi darahku rendah. Ibuku menggelengkan kepala heran. Masih kecil sudah
mempunyai darah rendah.
Pulang periksa
bapak menanyaiku. Aku ditanya, mauku apa? Ingin pindah atau bertahan dengan
keadaan yang seperti ini. Takut dan diam itulah kebiasaanku ketika menghadapi
bapak. Aku diam dan tetap diam sampai akhirnya bapak marah. Menaikkan nada
suara dan aku menciut.
Tiba-tiba
keberanianku muncul. Aku meminta untuk pindah dari pondok, tapi aku tetap ingin
sekolah di MTs. Tapi bapak berkata sebaliknya, kalau pindah dari pondok harus
pindah dari MTs. Aku menangis tidak mau pindah dari MTs. Aku memohon kepada
bapak, agar mengurus surat kepindahanku di pondok.
Awalnya bapak
tak mau. Beliau tetap menginginkan aku di Pondok, tapi aku memaksa. Akhirnya
bapak merasa kasihan tak tega melihat anaknya dengan keadaan itu. Esok harinya,
ibu dan bapak pergi ke Pondok untuk sowan kepada Bu Nyai dan Pak Kyai, untuk
meminta kembali alias keluar dari pondok secara terhormat.
Tiga bulan
persis aku tinggal di Pondok. Ibu Nyai menyarankan agar aku pindah ke asrama
yang dikelola oleh salah satu adik kandung dari Bu Nyai. Ibuku mengiyakan.
Sebelum pindah ke asrama ibu bertanya kepada bapak, bagaimana kalau aku tidak
jadi pindah sekolah karena aku bisa tinggal di asrama itu. Awalnya bapak
bersikeras menolak. Beliau memintaku untuk tetap pindah dari sekolah itu. Aku
meneteskan air mata. Aku memohon dengan sangat untuk tinggal di asrama. Ibuku
mendukungku dan bapak mengiyakan.
Setelah sowan,
aku bergegas menemui ibu asrama. Aku disambut hangat oleh salah satu santri
yang ada di ndalem. Senyum manisnya membuat kepercayaan pada hati ini akan
betah tinggal di asrama. Aku dan ibu bapak dipersilahkan masuk.
Selang beberapa
menit kemudian ibu asrama keluar dari ruang belakang. Ibu memperlihatkan
kebahagiaan yang sangat. beliau menerimaku dengan senang hati. Aku lebih yakin
lagi akan betah tinggal di asrama ini. Beliau mempersilahkan aku dan ibu untuk
melihat-lihat keadaan asrama itu. Setelah melihat-lihat kami undur diri, berpamitan
kepada ibu asrama. Aku ikut pulang, karena ada barang-barangku yang ketinggalan
di ruman di rumah. Bersambung
*sumber Jalan Terjal Meraih Mimpi Kuliah Catatan
Inspiratif 49 Penerima Beasiswa Bidik Misi karya Ahmad Fathur Roziqin, dkk.
Post a Comment for "Catatan Inspiratif Penerima Beasiswa Bidik Misi Bag 2A"