Catatan Inspiratif 49 Penerima Beasiswa Bidik Misi Bag 1
Barokah dan Restu Ibu
Oleh Ahmad Fathur Roziqin
Ceritaku berawal dari
mimpi pada waktu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
“Pak, Buk, suatu saat aku pengen kuliah,” kataku sambil bergurau di ruang tamu.
“Iya, mikuli uyah” jawab bapakku sambil tertawa karena mereka tahu bahwa
kuliah itu tidak segampang dan semurah yang dipikirkan.
Di bangku SMP saya
termotivasi oleh kakak kelas yang melanjutkan sekolah di salah satu SMK di
Surabaya dengan tanpa membayar dan saya ingin seperti dia. Saya yakin bahwa
saya pasti bisa. Diujung masa SMP saya sudah tidak bingung lagi mau kemana
melanjutkan sekolah jenjang yang lebih tinggi. Saya mengikuti jejak kakak saya
di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) yang ada di Wonodadi. Sementara paman
menyarankan saya untuk ke SMKN Udanawu. Tetapi saya yakin dengan pilihan saya
dan orang tua.
Saya tahu orang tua
kesulitan dalam ekonomi dan setiap hari harus memberikan uang saku kepada 3
saudara saya. Dalam hati saya berniat untuk mengurangi bebannya. Ketika itu
saya juga pengen mondok ke Ponpes Al-Kamal tetapi orang tua tidak ada biaya.
Saya pun nekat ingin tetap mondok tanpa biaya, entah bagaimana caranya. Setelah
berjuang melalui berbagai cara, akhirnya saya bisa mondok tanpa biaya. Saya
mengabdi di ndalem ibu Nyai Hj. Sumbulatin. Dengan cara ini saya bisa
mondok secara gratis. Selain itu saya juga berharap agar mendapat barokahnya.
Di Pesantren Al-Kamal
saya ditemani seorang bernama Ahmad Risky Fadloli. Pada saat itu dia kelas 3
MAN. Saya sebagai santri baru selalu diberi motivasi olehnya karena mengabdi
itu tidak mudah. Perlu keikhlasan yang kuat. Suatu ketika, pada sebuah malam,
saya diceritakan tentang sejarah pondok oleh Bu Nyai. Sampai akhirnya Bu Nyai
bercerita tentang salah satu santrinya yang baru lulus tahun 2010. “Dia itu
rajin di sini, dari mulai menyapu, mengepel, cuci piring, membersihkan kamar
mandi setiap hari jum’at, dll. Saya teringat dia ketika saya umroh. Saya
berdo’a agar dia dilancarkan urusannya dan kelak menjadi orang yang
bermanfaat”.
Terus saya pun
bertanya, “sekarang dia dimana Buk?”.
“Sekarang dia kuliah
di Universitas Negeri Yogyakarta dengan biasiswa Bidik Misi”.
Saya pun bertambah
semangat dalam mengabdi. Setelah setahun saya mengabdi, teman saya Ahmad Rizky
Fadloli telah lulus. Dia berjuang ingin melanjutkan ke Yogyakarta. Dengan
semangat dan tekad dia lolos seleksi mandiri di Fakultas Teknik UNY. Ini yang membuat
saya gemetar untuk semangat kuliah. Saya harus bisa seperti dia. Dia berkata
bahwa lulus SMA, MAN, SMK itu belum apa-apa, tetapi lolos masuk perguruan
tinggi yang kita inginkan itu baru bahagia.
Setelah kelas 3 MAN,
saya ingin mengikuti jejak kakak tingkat tersebut. Saya ingin kuliah di
Yogyakarta, di UNY atau UGM. Sebelum perpisahan saya langsung ke Yogyakarta
untuk melihat kampus-kampus yang saya inginkan. Saya mengikuti SNMPTN, SBMPTN,
dan SPAN-PTKIN, semua gagal kecuali SPAN-PTKIN di IAIN Tulungagung Jurusan
Zakat dan Wakaf, tetapi saya abaikan. Saya masih memperjuangkan kampus pilihan
saya, yaitu UGM dan UNY.
Ketika memperjuangkan
SBMPTN, dengan semangat saya mengikuti bimbingan belajar pasca ujian nasional
(BPUN) di Yogyakarta selama 1 bulan. Sebelum berangkat saya minta restu orang
tua. Tetapi semangat saya dipatahkan. “Sebenarnya ibuk nggak setuju kamu
kuliah”, kata ibuk. Beliau kuatir dengan biaya. Saya diam dan langsung minta
izin pergi ke Yogyakarta. Orang tua saya merestui jika saya kuliah di
Tulungagung. Bu Nyai juga menghendaki saya ke Tulungagung dan tetap tinggal di
Ndalem.
Di Yogyakarta saya
sering menangis pada malam hari karena orang tua saya tidak merestui saya
kuliah di Yogyakarta karena faktor biaya dan jarak, tapi saya tetap semangat
memperjuangkan Jurusan Filsafat UGM dan Ilmu Sejarah dan pendidikan Luar
Sekolah UNY. Saya sudah sangat terlambat jika mengambil Zakat dan Wakaf di IAIN
Tulungagung.
Perjuangan di
Yogyakarta selama 1 bulan ternyata belum menghasilkan apa-apa. Saya nge-down
pada waktu pengumuman dan ternyata saya tidak diterima. Saya menjadi malas,
jarang mandi, tidur saja di kamar pondok, keluar kamar hanya wudhu dan makan.
Itu terjadi selama seminggu. Suatu ketika saya ditanyai kiai saya, K.H Hafidz
Lutfi. “Ziq, kamu kuliah dimana? Gimana di Yogyanya?”.
Sambil termenung
sejenak, “belum tahu ustadz. Saya tidak diterima di Yogyakarta” jawab saya.
Sambil saya menangis. Dua hari setelahnya saya ditawarkan “kalau kamu kuliah di
Tulungagung, kamu saya kuliahkan”, dawuh beliau. Saya pun langsung ke warnet
ngisi borang heregristasi online di IAIN Tulungagung. Setelah semua
persyaratan lengkap, saya langsung memberitahu kiai saya kalau saya sudah
diterima dan saya langsung diberi uang 1 juta untuk biaya kuliah. Besoknya saya
ke Rektorat melobi Wakil Rektor 2 atas keterlambatan penyerahan berkas saya.
Alhamdulillah masih bisa. Do’a saya tetap, yaitu saya pengen kuliah kuliah
gratis mengingat orang tua saya tidak mampu. Ternyata masih ada kesempatan
kuliah gratis dengan bidik misi. Saya daftar di hari itu juga karena waktunya
terakhir hari itu. Alhamdulillah do’a saya, restu orang tua dan Bu Nyai
dikabulkan oleh Allah.
Sebelumnya saya tidak
menceritakan kepada orang tua ketika saya kuliah di IAIN Tulungagung. Saya
menceritakan ketika ada undangan wali terkait Bidik Misi di Aula Rektorat.
Setelah itu saya bisa berfikir, ternyata restu orang tua itu sangat penting
walaupun itu permasalahan menuntut ilmu. Apa yang saya lakukan ketika mengabdi
di Ndalem membuat saya gigih dan bertanggungjawab. Pesan orang tua saya, “Le,
jangan membuat orang tuamu ini disiksa besok di akhirat gara-gara belum bisa
membimbing kamu dengan baik. Jangan membuat malu orang tua”. Pesan ini yang
membuat saya berfikir lebih dewasa sekarang ini.
*sumber
Jalan Terjal Meraih Mimpi Kuliah Catatan Inspiratif 49 Penerima Beasiswa
Bidik Misi karya Ahmad Fathur Roziqin, dkk.
Post a Comment for "Catatan Inspiratif 49 Penerima Beasiswa Bidik Misi Bag 1"